Suhu cuaca
yang panas di kawaasan Arab, menyebabkan sebagian jamaah haji menyiasati dengan
sejumlah langkah, demi kelancaran dan kenyamanan ibadah haji. Mereka pada
umumnya mengenakan kacamata hitam, entah karena sakit atau sekadar mengurangi
sengatan terik matahari. Demikian pula masker, lazim digunakan untuk
menghindari debu-debu yang berterbangan atau hanya mengurangi hawa dingin,
terutama pada saat malam hari. Padahal menutup wajah bagi perempuan adalah
salah satu di antara larangan-larangan dalam ihram.
Pertanyaan
dari masalah ini adalah apakah boleh menggunakan masker pada saat berihram? Ada
dua pendapat mengenao masalah ini. Yang pertama memakai masker
anti-flu diperbolehkan jika terdapat hajat (kebutuhan), tapi wajib membayar
fidyah menurut Imam Syafii. Sedangkan yang kedua menurut Imam Hambali tidak
wajib.[1]
Syaikh Kholid bin ‘Abdullah Al Mushlih hafizhohullah pernah
ditanya, “Wahai fadhilatusy syaikh. Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa
barakatuh. Apakah seorang yang berihram boleh menggunakan masker pada wajah?”
Jawab beliau hafizhohullah, Wa’alaikumus salam wa rahmatullah wa
barakatuh. Tidak mengapa menggunakan masker pada wajah baik pada laki-laki
maupun perempuan. Karena menutup wajah bagi laki-laki bukanlah larangan ketika
sedang berihram, begitu pula pada wanita.[2]
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Jibri rahimahullah juga
pernah ditanya, “Apa hukum menggunakan masker yang menutupi mulut dan hidung
bagi orang yang berihram karena khawatir masuknya virus atau bakteri karena
kondisi haji yang begitu sesak?”Beliau menjawab, “Seperti itu tidak mengapa
ketika butuh. Sebagian orang sangat butuh untuk menutupi mulut dan hidungnya
karena khawatir akan asap mobil, bau orang lain yang tidak enak dan semisal
itu. Kebanyakan orang terpengaruh dengan asap dan bau-bau semacam itu
sehingga mesti menggunakan masker tersebut.” [3]
Hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada
seseorang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ya
Rasulullah, pakaian apa yang harus dikenakan orang yang ihram?’ jawab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salllam,
لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ
السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ ، إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ
نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ، وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ
الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ
أَوْ وَرْسٌ
Artinya: “Tidak boleh memakai baju, atau imamah (penutup
kepala), atau celana, atau burnus (baju yang ada penutup kepala), atau sepatu.
Kecuali orang yang tidak memiliki sandal, dia boleh memakai sepatu, dan
hendaknya dia potong hingga di bawah mata kaki (terbuka mata kakinya). Dan
tidak boleh memakai kain yang diberi minyak wangi atau pewarna.” (HR. Bukhari
1468 dan Muslim 2848).
Kemudian Dalam
riwayat shahih Bukhari, terdapat tambahan
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ
وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
Artinya: “Wanita ihram tidak boleh memakai cadar dan tidak
boleh memakai kaos tangan.” (HR. Bukhari 1838, Nasai 2693 dan yang lainnya).
Pendapat pertama, orang yang ihram tidak boleh
menutuppi wajah dan kepala. Dan jika seseorang terpaksa harus menutupi wajah
atau kepala, karena sakit atau gangguan lainnya, maka dia wajib membayar
fidyah, berupa puasa, sedekah makanan, atau meyembelih hewan, sebagaimana yang
Allah sebutkan di surat al-Baqarah: 196.
Ini merupakan pendapat Malikiyah dan Hanafiyah, dan
pendapat yang difatwakan Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh.
Alasan pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para wanita
memakai cadar ketika ihram. Jika wanita yang lebih membutuhkan penutup wajah
tidak diperbolehkah menutup wajahnya, tentu laki-laki lebih terlarang untuk
menutup wajah.
Alasan kedua adalah hadis Ibnu Abbas, di mana Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menutup kepala dan wajah jenazah yang
ihram.
Dalam as-Syarh
al-Kabir Ibnu Dirdir – Ulama Malikiyah – mengatakan,
وحرم على الرجل ستر وجه كلا أو بعضا أو رأس كذلك
بما يعد ساترا كطين فأولى غيره كقلنسوة، فالوجه والرأس يخالفان سائر البدن إذ يحرم
سترهما بكل ما يعد ساترا مطلقا
Artinya: “Haram bagi lelaki (yang ihram) untuk menutup
wajahnya semuanya atau sebagian, demikian pula kepalanya, dengan sesuatu yang
dianggap penutup, terlebih yang lainnya, seperti peci. Wajah dan kepala berbeda
dengan anggota badan yang lain, di mana dua bagian ini haram untuk ditutupi
dengan semua benda yang bisa dianggap pentup.” (as-Syarh al-Kabir, 2/55).
Kemudian dalam
kitab al-Hidayah Syarh al-Bidayah – kitab madzhab Hanafi –,
ولا يغطي وجهه ولا رأسه لقوله عليه الصلاة
والسلام: لا تخمروا وجهه ولا رأسه فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا قاله في محرم توفى
ولأن المرأة لا تغطي وجهها مع أن في الكشف فتنة فالرجل بالطريق الأولى
Artinya: “Tidak boleh menutupi wajah dan kepalanya.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Jangan menutuppi
wajahnya dan kepalanya. Karena dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan
bertalbiyah.’ Beliau sabdakan ini terkait orang ihram yang meninggal. Alasan
lainnya, karena wanita tidak boleh menutupi wajahnya, padahal membuka wajah
wanita menjadi sumber fitnah. Sehingga laki-laki, lebih layak untuk dilarang.” (al-Hidayah,
1/139).
Mengingat penutup wajah termasuk larangan ihram, maka
orang yang mengenakan menutup wajah karena kebutuhan mendesak, dia berkewajiban
membayar fidyah.
Pendapat kedua, lelaki yang ihram boleh
menutup wajah dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Ini merupakan pendapat
mayoritas ulama, diantaranya Syafiyah dan Hambali. Alasan pendapat ini adalah hadis Ibnu Umar Radhiyallahu
‘anhu di atas, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dengan rinci
pakaian yang dilarang dalam ihram. Namun dalam daftar yang beliau sebutkan,
tidak ada penutup wajah. Sementara tradisi menutup wajah biasa dilakukan
masyarakat kawasan padang pasir.
Sementara larangan menutup wajah bagi jenazah yang
ihram, itu karena menutup wajah jenazah, mengharusnya menutup kepalanya.
Disamping itu, terdapat bebebrapa riwayat dari sahabat bahwa mereka memakai
tutup muka ketika ihram.
An-Nawawi
mengatakan,
مذهبنا انه يجوز للرجل المحرم ستر وجهه ولا فدية
عليه وبه قال جمهور العلماء … واحتج أصحابنا برواية الشافعي عن سفيان
بن عيينة عن عبد الرحمن بن القاسم عن ابيه (أن عثمان بن عفان وزيد ابن ثابت ومروان
بن الحكم كانوا يخمرون وجوههم وهم حرم) وهذا اسناد صحيح
Artinya: “Madzhab kami (syafiiyah), bahwa dibolehkan bagi
laki-laki ihram untuk menutup wajahnya dan tidak ada kewajiban fidyah. Dan ini
pendpat mayoritas ulama… ulama madzhab kami berdalil dengan riwayat dari Sufyan
bin Uyainah dari Abdurrahman bin Qasim dari ayahnya, bahwa Utsman bin Affan,
Zaid bin Tsabit, dan Marwan bin Hakam, mereka menutup wajahnya ketika mereka
sedang ihram.” (al-Majmu’, 7/268). Dan riwayat ini sanadnya shahih.
Al-Buhuti –
ulama hambali – mengatakan,
لَوْ غَطَّى الْمُحْرِمُ الذَّكَرُ وَجْهَهُ
فَيَجُوزُ رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ
الزُّبَيْرِ وَغَيْرِهِمْ ؛ وَلِأَنَّهُ لَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ سُنَّةُ
التَّقْصِيرِ مِنْ الرَّجُلِ فَلَمْ تَتَعَلَّقْ بِهِ حُرْمَةُ التَّخْمِيرِ
كَبَاقِي بَدَنِهِ .
Artinya: “Apabila laki-laki yang sedang ihram menutup
wajahnya, hukumnya boleh. Diriwayatkan dari Utsman, Zaid bi Tsabit, Ibnu Abbas,
dan Ibnu Zubair, serta ulama lainnya. Karena wajah tidak ada kaitannya dengan
sunah memangkas rambut pada lelaki, sehingga tidak ada kaitannya dengan
larangan untuk ditutupi, sebagaimana umumnya anggota badan.” (Kassyaf
al-Qana’, 6/452).
Dalam Tharhu
atTasrib dinyatakan, – setelah menjelaskan hadis Ibnu Umar di atas,
ظاهر قوله ولا تنتقب المرأة اختصاصها بذلك وأن
الرجل ليس كذلك، وهو مقتضي ما ذكره أول الحديث في ما يتركه المحرم فإنه لم يذكر
منه ساتر الوجه
Artinya: “Makna teks dari sabda beliau ‘Janganlah wanita
memakai cadar’ itu khusus bagi wanita, sementara laki-laki tidak seperti itu.
Dan ini sesuai degan makna bagian awal hadis, tentang hal-hal yang harus
ditinggalkan oleh orang yang ihram. Di sana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyebutkan penutup wajah.” (Tharhu at-Tatsrib, 5/299)
Jika kita mengambil madzhab jumhur, maka tidak masalah
bagi laki-laki yang sedang ihram untuk memakai masker. Bagaimana dengan Wanita?
Kesimpulan di atas tentang bolehnya memakai masker
ketika ihram, berlaku untuk jamaah laki-laki, mengingat pendapat jumhur ulama
membolehkan hal itu. Sementara untuk kasus masker
bagi wanita, sebagian ulama mendekati kajian masalah ini kembali pada batasan
penutup wajah.
Ibnu Qudamah
mengatakan,
وَإِنَّمَا مُنِعَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ
الْبُرْقُعِ وَالنِّقَابِ وَنَحْوِهِمَا ، مِمَّا يُعَدَّ لِسَتْرِ الْوَجْهِ
Artinya: “Wanita dilarang memakai cadar, burkah atau
semacamnya, yang itu dianggap penutup wajah.” (al-Mughni,
6/477)
Sementara masker tidak termasuk benda penutup wajah.
Karena itu, jika wanita tidak berjilbab yang memakai masker, masyarakat tidak
menganggapnya menutup wajahnya. Demikian keterangan lembaga
fatwa Mesir.[4]
Posting Komentar