Tawaf Wada yang memiliki nama lain tawaf
perpisahan merupakan suatu ibadah yang dilaksanakan sebagai pernyataan
perpisahan dan penghormatan kepada Baitullah dan Masjidil Haram. Tawaf ini
cukup dikerjakan dengan berjalan biasa. Selain disebut sebagai thawaf
perpisahan thawaf wada juga disebut Tawaf Shadar yang artinya Thawaf kembali
karena setelah itu jama’ah akan meninggalkan Mekah untuk ketempat
masing-masing.[1]
Pendapat pertama ada yang mengatakan
Thawaf Wada wajib bagi yang Haji maupun Umra. Adapun pendapat lain mengenai Thawaf
wada’ adalah thawaf yang wajib dilaksanakan bagi jamaah haji sunnah untuk
jamaah umroh. Berikut salah satu dalil yang menjelaskan akan hal tersebut.
Artinya : “Manusia
diperintahkan menjadikan akhir amalan hajinya adalah di Baitullah (dengan
thowaf wada’, pen) kecuali hal ini diberi keringanan bagi wanita haidh.”
(HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).[2]
Perintah ini tidak hanya berlaku
untuk mereka yang melaksanakan kegiatan haji dan umrah, bahkan mereka yang
melakukan kegiatan apapun di kota Mekah, seperti berdagang. Sebagaimana penjelasan
berikut.
Dalam Minah al-Jalil, kitab Malikiyah
ندب لكل من أراد الخروج من مكة مكيا أو
آفاقيا قدم بنسك أو تجارة طواف الوداع إن أراد الخروج
Artinya : “Dianjurkan
bagi semua yang hendak keluar Mekah, baik dia asli Mekah maupun penduduk
penjuru dunia lainnya, baik datang untuk manasik (haji/umrah) atau untuk
berdagang, agar melakukan thawaf wada’ ketika hendak keluar.” (Minah
al-Jalil, 2/295).[3]
Al-Buhuti, ulama hambali menuliskan
طواف الوداع ليس من الحج، وإنما هو لكل من
أراد الخروج من مكة
Artinya: “Thawaf
wada’ bkan bagian dari haji. Namun ini berlaku untuk semua orang yang hendak
meninggalkan kota Mekah.” (Kasyaf al-Qana’, 2/521)[4]
Berdasarkan hal diatas, bagaimana
jika thawaf wada’ tidak dilaksanakan, apa hukumnya? Hemat penulis, kalua kita berkaca
kepada pendapat ulama yang mengatakan wajib maka disini artinya orang yang
tidak melaksanakan Thawaf Wada akan terkena resiko berupa dam. Sebagaimana pendapat Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz ketika pertanyaan diajukan kepadanya. Pertanyaannya
seperti ini
“Saya haji bersama rombongan dan
kami telah menyempurnakan haji. Namun pada akhir putaran keenam dalam thawaf
wada’ istri saya pingsan, maka saya harus membawa dia ke luar Mekkah sehingga
saya, saudara lelaki istri saya dan juga istri saya tidak dapat merampungkan
putaran thawaf ketujuh. Apakah kami wajib melakukan sesuatu ?”
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz mengatakan bahwa mereka terkena dam (menyembelih binatang), berupa
menyembelih kurban di Makkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah
suci. Yaitu, sepertujuh unta, atau sepertujuh sapi, atau seekor kambing yang
memenuhi syarat seperti dlam kurban serta bertaubat dan memohon kepada Allah.
Syekh Abdul Aziz mendasarkan pendapatnya ini kepada hadits dibawah ini.[5]
لاَيَنْفِرَنَّ أَحَدٌمِنءكُم حَتَّى
يَكُوْنَ آخِرُ عَهْدَهُ بِالْبَيْتِ
Artinya : “Janganlah
seseorang di antara kamu pulang melainkan mengakhiri ibadah hajinya dengan
thawaf di Baitullah” [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihnya]
Pernyataan Syekh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz ini berlaku kepada orang yang melakukan Haji. Sedangkan untuk
umrah beliau berpendapat bahwa thafaf wada adalah sunnah. Jika sunnah maka
jelas tidak terkena hukuman. Pertimbangannya, karena umrah adalah haji kecil,
sehingga tidak berlaku sebagaimana kewajiban pada haji. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,[6]
العُمْرَةُ الحَجُّ الأَصْغَرُ
Artinya: “Umrah adalah haji kecil.” (HR. ad-Daruquthni
2756)
Pendapat Syekh Abdul Aziz juga
dikuatkan dengan pendapat Dr. Muhammad Ali yang Ferkus mengatakan
وخَرَجَ طَوَافُ الوَدَاعِ من حكمِ الوجوبِ
إلى السُّنيَّةِ لأنّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم لم يَطُفْ للوداعِ
عندَ خروجه من مكةَ بعد عُمْرَةِ القضاءِ
Artinya: “Thawaf
wada’ tidak dihukumi wajib dan dihukumi sunah bagi orang yang umrah, karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan thawaf wada’ ketika
beliau keluar kota Mekah setelah melakukan Umrah Qadha’.” (Fatwa Muhammad
Ferkus, no. 807)
Dalam kitab Bada’i as-Shana’I, kitab
madzhab Hanafi, juga menyatakan untuk umroh thawaf wada juga sunnah
أما طواف الصدر فلا يجب على المعتمر
Artinya: “Untuk
thawaf wada’, hukumnya tidak wajib bagi orang yang umrah.” (Bada’i
as-Shana’i, 2/227).
Jika Thawaf Wada diwajibkan bagi
mereka yang berhaji bagaimana dengan Wanita yang sedang Haid. Bagi wanita yang
haid diberi keringanan sebagaimana penggalan
hadits diatas[7]
إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ
Artinya: “Tetapi
beliau memberikan keringanan kepada wanita yang haidh” [Muttafaqun ‘alaih]
Berdasarkan penjelasan diatas maka kami dapat sedikit
menyimpulkan sebagai berikut:
1.Thawaf Wada’ hukumnya wajib bagi orang yang sedang
ber-Haji walaupun terdapat udzur seperti sakit, kecuali wanita yang sedang Haid
2.Thawaf Wada’ Sunnah bagi orang yang sedang Umrah
3.Thawaf Wada’ bukan hanya dilakukan bagi orang yang
Haji ataupun Umrah tapi juga dilakukan bagi orang yang melakukan kegiatan
apapun di Mekkah
4.Pada pendapat lain mengatakan bahwa baik Haji, Umrah
dan Kegiatan apapun di Mekkah diwajibkan untuk melakukan Thawaf Wada’ namun
tidak bagi mereka yang memang sudah berdomisili di Mekkah
resiko Hukum tawaf wada haji dan umrah
[5]
https://almanhaj.or.id/1712-thawaf-wada-salah-satu-kewajiban-dalam-haji-dan-hukum-meninggalkan-thawaf-wada-dalam-haji.html
[7]
https://almanhaj.or.id/1712-thawaf-wada-salah-satu-kewajiban-dalam-haji-dan-hukum-meninggalkan-thawaf-wada-dalam-haji.html
1 comment
Alhamdulillah
Posting Komentar