MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF
Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf. Tasawuf
adalah ilmu yang mempelajari penyucian jiwa. Yang mana meiliki tujuan untuk mengenal
Allah Subhanahu wa ta’ala dengan jalan untuk menemukannya (ma’rifat) yang
disebut dengan ‘Irfani. Untuk mencapai Ma’rifat memerlukan proses yang disebut
dengan Maqamat dan Ahwal. Maqam adalah fase-fase yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. fase-fase
yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah.
Sedangkan Ahwal adalah adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah
bersih dan suci yang merupakan hasil dari Maqamat serta sebagai tanda untuk
seorang melanjutkan pada maqam selanjutnya.
Kata kunci : Maqamat, Ahwal, Allah
PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam
Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya
menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui
tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar.
Tinjauan analitis terhadap tasawuf
menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki
suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan
latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai
fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada
Allah. Tingkat pengenalan (ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar
oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku sufi diwujudkan melalui amalan dan
metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk menemukan
pengenalan (ma’rifat) Allah yang disebut dengan ‘Irfani
Perjalanan menuju Allah merupakan metode
pengenalan (ma’rifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah. Manusia
tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan
perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah.
Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara
aqliyah atau logis-teoritis
Ma’rifat tidak dapat dicapai dengan
mudah atau secara spontan, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang
dimaksud adalah maqam-maqam dan ahwal Dua persoalan ini
harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu diketahui, maqam dan ahwal tidak
dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan
antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi
prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan ditemukan
kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan
mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqam selanjutnya. Maka
dari itu pada kesempatan ini kami akan membahas sebuah materi yang berjudul Maqam
dan Ahwal. Yaitu apa pengertian dan macam dari Maqamat dan Ahwal
Semoga tugas makalah sederhana ini dapat
menjadi suatu ilmu yang bermanfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangatlah
diharapkan, demi kesuksesan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
SEPUTAR MENGENAI TASAWUF
Tasawuf segi linguistik (kebahasaan) dapat
dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri
dan berupaya mendekatkan diri kepada Allah yang dilaluinya melalui jalan yang
panjang atau disebut dengan istilah maqamat.
Cikal bakal lahirnya tasawuf adalah dari
sikap dan perilaku muslim yang senantiasa menghindari kemewahan dalam kehidupan
dunia dan senantiasa tekun beribadah. Inti dari tasawuf adalah pendidikan
akhlak memerangi hawa nafsu dan membersihkan hati agar semakin dekat dengan
Allah SWT.[1]
MAQAMAT
Secara harfiah, maqamat merupakan
jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat
mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang
berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti
kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan samping itu, maqamat berarti
jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah.
Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha
yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh
dalam jangka waktu tertentu.Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[2]
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat
yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan
para sufi tidak sama pendapatnya. Berikut
beberapa pendapat tentang jalan atau cara yang dilalui para sufi.[3]
Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi
Tobat
Zuhud
Sabar
Kefakiran
Kerendahan hati
Tawakkal
Kerelaan
Abu Nashar al-Sarraj al-Thusi
Tobat
Wara’
Zuhud
Kefakiran
Sabar
Tawakkal
Kerelaan
Al-Ghazali
Tobat
Sabar
Kefakiran
Zuhud
Tawakkal
Mahabbah
Makrifat
Kerelaan
Al-Kalabadzi
Tobat
Zuhud
Sabar
Kefakiran
Rendah hati
Tawakkal
Kerelaan
Mahabbah
Makrifat
Abd al-Qasim al-Qusyairi al-Naisaburi
Tobat
Wara’
Zuhud
Tawakkal
Sabar
Rida
Selain itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan,
yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah,
dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan
variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh
mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah)
terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang
menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan
Tuhan).. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut.[4]
Taubat
Taubat berasal dari Bahasa
Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”.
Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun
atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan
sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi
dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan
menjadi tiga tingkatan. Pertama, orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan.
Kedua, orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan ketiga orang
yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan
taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah
upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan
membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi
orang khawash taubat dilakukan
dengan riyadhah dan mujahadahdalam rangka membuka hijab yang
membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu
menggapai maqam yang lebih tinggi.
Lain halnya dengan Ibnu Taimiyah. Ia
membedakan taubat menjadi dua: taubat wajib dan taubat sunnah. Taubat wajib
adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara wajib,
atau menyesal karena melakukan perkara-perkara haram. Sedangkan taubat sunnah
adalah taubat karena menyesali perbuatan meninggalkan perkara-perkara sunnah,
atau karena menyesali perbuatan melakukan perkara-perkara makruh. Berkaitan
dengan dua macam taubat ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan tingkatan/derajat orang
yang bertaubat menjadi dua. Pertama, al-abrar
al-muqtashidun (orang-orang yang berbakti lagi pertengahan), yaitu
orang-orang yang melakukan jenis taubat yang pertama, yaitu taubat wajib.
Kedua, as-sabiqun al-awwalun.Mereka adalah orang yang melakukan jenis taubat
wajib dan taubat sunnah.[5]
Taubat seperti dijelaskan oleh Imam Ghazali
dalam kitabnya "Ihya ulumuddin" adalah sebuah makna yang terdiri dari
tiga unsur: ilmu, hal dan amal. Ilmu adalah unsur yang pertama, kemudian yang
kedua hal, dan ketiga amal. Ia berkata: yang pertama mewajibkan yang kedua, dan
yang kedua mewajibkan yang ketiga. Berlangsung sesuai dengan hukum (ketentuan)
Allah SWT yang berlangsung dalam kerajaan dan malakut-Nya.
Ia berkata: "Sedangkan ilmu adalah,
mengetahui besarnya bahaya dosa, dan ia adalah penghalang antara hamba dan
seluruh yang ia senangi. Jika ia telah mengetahui itu dengan yakin dan sepenuh
hati, pengetahuannya itu akan berpengaruh dalam hatinya dan ia merasakan
kepedihan karena kehilangan yang dia cintai. Karena hati, ketika ia merasakan hilangnya
yang dia cintai, ia akan merasakan kepedihan, dan jika kehilangan itu
diakibatkan oleh perbuatannya, niscaya ia akan menyesali perbuatannya
itu. Dan perasaan pedih kehilangan yang dia cintai itu dinamakan
penyesalan. Jika perasaan pedih itu demikian kuat berpengaruh dalam hatinya dan
menguasai hatinya, maka perasaan itu akan mendorong timbulnya perasaan lain,
yaitu tekad dan kemauan untuk mengerjakan apa yang seharusnya pada saat ini,
kemarin dan akan datang. Tindakan yang ia lakukan saat ini adalah meninggalkan
dosa yang menyelimutinya, dan terhadap masa depannya adalah dengan bertekad
untuk meninggalkan dosa yang mengakibatkannya kehilangan yang dia cintai hingga
sepanjang masa. Sedangkan masa lalunya adalah dengan menebus apa yang ia
lakukan sebelumnya, jika dapat ditebus, atau menggantinya.
Yang pertama adalah ilmu. Dialah pangkal
pertama seluruh kebaikan ini. Yang aku maksudkan dengan ilmu ini adalah
keimanan dan keyakinan. Karena iman bermakna pembenaran bahwa dosa adalah racun
yang menghancurkan. Sedangkan yakin adalah penegasan pembenaran ini, tidak
meragukannya serta memenuhi hatinya. Maka cahaya iman dalam hati ini ketika
bersinar akan membuahkan api penyesalan, sehingga hati merasakan kepedihan.
Karena dengan cahaya iman itu ia dapat melihat bahwa saat ini, karena dosanya
itu, ia terhalang dari yang dia cintai. Seperti orang yang diterangi cahaya
matahari, ketika ia berada dalam kegelapan, maka cahaya itu menghilangkan
penghalang penglihatannya sehingga ia dapat melihat yang dia cintai. Dan ketika
ia menyadari ia hampir binasa, maka cahaya cinta dalam hatinya bergejolak, dan
api ini membangkitkan kekuatannya untuk menyelamatkan dirinya serta mengejar
yang dia cintai itu.
Ilmu dan penyesalan, serta tekad untuk
meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang, serta berusaha
menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan dengan
pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula taubat itu
disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan sebagai
permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan
konsekwensi dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw :
" Penyesalan adalah taubat" (Hafizh al 'Iraqi dalam takhrij
hadits-hadits Ihya Ulumuddin berkata: hadits ini ditakhrijkan oleh Ibnu Majah,
Ibnu Hibban, dan al Hakim. Serta ia mensahihkan sanadnya dari hadits Ibnu
Mas'ud. Dan diriwayakan pula oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim dari hadits Anas
r.a. dan ia berkata: hadits ini sahih atas syarat Bukhari dan Muslim), karena
penyesalan itu dapat terjadi dari ilmu yang mewajibkan serta membuahkan
penyesalan itu, dan tekad untuk meninggalkan dosa sebagai konsekwensinya. Maka
penyesalan itu dipelihara dengan dua cabangnya, yaitu buahnya dan apa yang
membuahkannya.[6]
Berkaitan dengan maqam taubat,
dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, di antaranya
adalah ayat yang berbunyi:
وَٱلَّذِينَ
إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ
لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ
مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ
Artinya: “Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”(Ali Imron: 135).
Zuhud
Secara etimologis, zuhud
berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[7]
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia
dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab
terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon
sufi harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sikap zuhd ini
erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan
berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Mengenai pengertian zuhd ini
terdapat berbagai variasi. Al-Junaidi berkata: “Zuhd ialah keadaan jiwa
yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.” Ali bin Abi Talib ketika
ditanya tentang zuhd, menjawab: “Zuhd berarti tidak peduli,
siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang yang beriman atau
tidak.” Dan al-Syibli ketika ditanya tentang zuhd, berkata: “Dalam
kenyataannya zuhd itu tidak ada. Jika seseorang
bersikap zuhd pada sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu
bukan zuhd, dan jika seseorang bersikap zuhd pada sesuatu
yang menjadi miliknya, bagaimana bisa dikatakan bahwa
itu zuhd, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya dan dia masih
memilikinya? Zuhd berarti menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat
kebaikan.” Hal ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa dia
mengartikan zuhd sebagai tindakan meninggalkan sesuatu yang tidak
menjadi miliknya. Dan jika sesuatu itu tidak menjadi milik seseorang, maka
tidak dapat dikatakan bahwa orang itu meninggalkannya, sebab sesuatu memang
telah tertinggalkan, sedangkan jika sesuatu itu menjadi milik seseorang, maka
tidak mungkin orang itu meninggalkannya. Namun, betapapun bervariasinya
pengertian yang diberikan, tekanan utama pada sikap zuhd adalah
mengurangi keinginan terhadap kehidupan duniawi.
Untuk lebih memperjelas pengertian
pengertian dan rumusan zuhd di atas, masih dirasa perlu untuk
mencantumkan beberapa pengertian lagi. Zuhd menurut Ibn Qudamah
al-Muqaddasi ialah “pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih
baik.” Menurut Imam Al-Ghazali, “zuhd ialah mengurangi keinginan kepada
dunia dan menjauh daripadanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin
dilakukan.” Imam al-Qusyairi mengatakan, “zuhd ialah tidak merasa bangga
dengan kemewahan dunia yang telah ada di tangannya dan tidak merasa bersedih
dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya.[8] Berkaitan dengan
konsep zuhud, dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, di
antaranya:
Artinya: “Katakanlah: "Kesenangan di
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (An-Nisa’: 77).
Ayat secara singkat menjelaskan bahwa
kehidupan dunia yang kita rasakan hanyalah sesaat dan suatu saat akan lenyap
dan musnah dalam seketika, dibandingkan dengan kehidupan akhirat yaitu
kehidupan yang ditempuh sesudah kita mati merupakan alam yang kekal dan abadi
dan merupakan kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan dunia.
Zuhud berdasarkan maksudnya dibagi menjadi
tiga tingkatan. Pertama, zuhud menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman
akhirat. Kedua, zuhud menjauhi dunia dengan mengharap imbalan di akhirat. Ketiga,
zuhud meninggalkan kesenangan dunia bukan karena berharap atau takut, akan
tetapi karena kecintaan terhadap Allah semata.
Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati.
Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan
konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar
erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian
emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi
harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang
sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa
(ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai
sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam
berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.[9]
Wara’
Wara’, secara harfiah, berarti saleh,
menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan
pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala
sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian,
maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A.
Siregar, wara’dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah.
Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan
meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak
menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam
kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri
dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu
yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang
arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.[10]
Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan
sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan
sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.[11] Tidak
meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak
meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta
tetapi tidak menolak.
Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan
diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang
hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia
mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun
al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa
tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak
mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba
meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka
menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir
Allah.
Pengertian tawakkal yang demikian itu
sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal
adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam
keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat
apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada
dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan
karena Allah.[12]
Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang
dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak
menentang qadha dan qadar Allah,
menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang
menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan
dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan
dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan
akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan
berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi
menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari
Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah
sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang
dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.[13]
Mahabbah
Mahabbah berasal dari
kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu
usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah
tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan
dengan konsep mahabbah, Rabi’ah al-Adawiyah adalah peletak
dasar mahabbah ini. Mahabbah dalam pandangan Rabi’ah adalah
cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun. Cinta
abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun. Sebagaimana
dalam syair Rabi’ah yang berbunyi: “Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku,
Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah
salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian
cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus
melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena
keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai. Bagi Rabi’ah, rasa cinta kepada
Allah menjadi salah satu motivasi dalam setiap perilakunya dan sekaligus
merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah. Rabi’ah al-Adawiyah mengatakan;
“Aku mencintai-Mu dengan dua dorongan cinta, cinta-rindu, karena aku
menginginkan-Nya dan cinta karena Engkau patut mendapatkannya. Cinta-rindu
menenggelamkan diriku untuk selalu mengingat dan menyebut-Mu. Cinta rindu
membuatku lupa dengan orang yang selain yang kucinta, sedangkan cinta karena
Engkau pantas dicintai adalah keterbukaan-Mu dari tirai penghalang sehingga aku
dapat melihat-Mu dengan terang benderang. Aku tak pantas mendapatkan pujian
untuk cinta pertama dan cinta kedua, tetapi segala puji untuk-Mu belaka pada
cinta pertama dan cinta kedua.
Dalam pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi
menjadi tingkatan. Pertama, mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang
timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb
ash-shadiqin wa al-muttaqin, yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati
sanubari terhadap kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah.
Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa
al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan
dan ma’rifat para sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah yang tanpa
‘illat. Adapun tanda-tanda cinta seorang hamba terhadap Allah di antaranya
adalah:
Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah)
dengan cara saling membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.
Melakukan segala hal yang disenangi
kekasihnya. Atas nama cinta kepada Allah, rela menjalankan kewajiban yang
diperintahkan.
Senantiasa berzikir menyebut nama-Nya.
Merasa tenang dan damai tatkala bermunajat
dengan Allah dan membaca kitab-Nya.
Tidak merasa gundah jika kelihangan sesuatu
selain Allah dan merasa gundah jika waktunya terlewatkan tanpa mengingat Allah.
Merasa nikmat saat menjalankan perintah
Allah dan tidak menganggap perintah itu sebagai beban.
Menyanyangi semua hamba Allah, berperilaku
tegas kepada semua musuh Allah.[
Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata
‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman.
Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan
yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu
pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.
Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Qalb
yang telah suci akan dipancari cahaya Ilahi dan akan dapat mengetahui segala
rahasia Tuhan. Pada saat itulah, seorang sufi sampai pada tingkatan ma’rifat.
Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan nur Ilahi dan berkaitan dengan nur
Ilahi. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kata nur yang dihubungkan dengan
Allah. Di antaranya adalah:
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah
mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum
ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam,
ulama dan sufi. Bagi orang awam, keyakinan akan pengetahuan tentang Allah
dibangun atas dasar taqlid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa
menyelidikinya.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun
atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar
dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri
adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat
pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat
dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.
Ma’rifat menurut Syeikh Ibnu Athaillah
As-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa
semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika
tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran
sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat
rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan
mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman,
وَلِلَّهِۤ
يَسۡجُدُۤ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ طَوۡعٗا وَكَرۡهٗا وَظِلَٰلُهُم بِٱلۡغُدُوِّ
وَٱلۡأٓصَالِ۩
Artinya: “Hanya kepada Allah-lah sujud
(patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau
pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.”
(QS Ar-Ra’d:15).
maka, semua makhluk mentauhidkan Allah
dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan
bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid
mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat
bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman
hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan
alam jabarut.
Sementara sang salik, bertasbih dengan
dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan
pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif
bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam gaib. Dan orang shiddiq bertasbih
dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara
berbagai makna Asmaasma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam
silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian
dengan kerahasian sirr-al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam kebaqaan-Nya.[14]
Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan
jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan
rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang
terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu
bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan
atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada
suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau
sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution
mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang,
persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para
sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah
keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan
dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan
perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang
datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang
disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan
tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan
rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen,
sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[15] Sebagaimana
halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling
banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’,
ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.[16]Penjelasan
tentang ahwal tersebut adalah sebagai berikut:
Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi
oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sesungguhnya manusia hakikinya
selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan
keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri)
adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba
jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al
Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama,
hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT.
Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu
sehari-hari”.[17]
Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa
takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau
Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa
sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi
dimasa sekarang. Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga
derajat, diantaranya adalah:[18]
Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf
seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali
dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu
khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan
dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan
kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu
tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.
Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau
optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan
dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam
al-Qur’an:
إِنَّ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ
يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S.Al-Baqarah:
218).
Orang yang harapan dan penantiannya
mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti
harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia
sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia. Raja’ menurut
tiga perkara, yaitu:
Cinta kepada apa yang diharapkannya.
Takut bila harapannya hilang.
Berusaha untuk mencapainya.
raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga
perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap
adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu
tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia
mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan,
diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.[19]
Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada
rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran,
karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang
yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya
dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan,
bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah
dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan
ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah
dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang
khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas
keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan
bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan
karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa
tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan
keagungan-Nya.[20]
Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi
adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan
seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang
diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat
kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada
dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan
seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang
menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi
dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab
sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang
yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan
tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun
berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu
berada dalam pemeliharaan Allah.
Seorang hamba yang
merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba
yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat
lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua,
seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap
bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya
untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka
citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai
dengan suka cita.
Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah
menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan
secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap
kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah
mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir
atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari
segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah,
sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah.
Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki
tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan
Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta
yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah
dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang
dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara
pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam
pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan
Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di
dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah
kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang
dimiliki.
Perbedaan Ahwal dan Maqamat
Keterangan di atas menegaskan kepada kita
bahwa maqam berbeda dengan hal. Menurut para sufi, maqam ditandai oleh
kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang
dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh tanpa daya dan
upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang – senang, rasa tercekam,
rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap.
Sesuai penjelasan di tersebut, hal adalah
pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang. Sedangkan maqam hanya bisa
didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha keras yang dilakukan secara
kontinyu tidak terputus, maqam bisa didapatkan oleh seorang hamba setelah ia
membersihkan jiwanya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya melalaikan Tuhan.[21]
PENUTUP
Dalam ilmu
Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah,
ibadah, maupun mujahadah.Di samping itu, maqamat berarti
jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang
sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam
jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan
macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk
berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki pendapat yang
berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum
al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah,
dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat
hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal
dan al-ridla. Sedangkan menurut Muhammad al Kalabazy, maqamat terdiri
dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa,
tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, Ahwal adalah
kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba
pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau
sebagai pemberian semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para
sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah
keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan
dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan
perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang
datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Dalam
penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi.
Adapun al-hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah,
al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
Dalam
memahami maqamat dan ahwal dalam tasawuf kita tidak dapat menetapkan bahwa maqamat
atau ahwal yang seperti inilah yang benar. Tetapi kita cukup memaparkan
pandangan beberapa ahli mengenai hal tersebut dan kita hanya bisa cendrung
kepada beberapa pendapat para ahli, dan tidak menyalahkan pendapat para sufi
yang lainnya. Demikianlah tugas makalah yang kami, kelompok XII susun, semoga
dapat bermanfaat maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Margiono, 2011, Akidah Akhlak Kelas 11
MA. Bogor :Yudhistira
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2011, Akhlak
Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Press
Abuddin Nata, 2011, Akhlak Tasawuf. Jakarta:
Rajawali Pers
Amin Syukur, 2004, Zuhud di
Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amin Syukur, 2003, Tasawuf Kontekstual
Solusi Problem Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Asmaran As, 2002, Pengantar Studi
Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Rosibon Anwar dan Mukhtar Solihin, 2004, Ilmu
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Ali Anwar Yusuf, 2003, Studi Agama
Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Pustaka Setia
Abdul Fattah, 2005, Tasawuf antara
Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah. Jakarta:Khalifa
http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html di
akses tgl 21 februari 2013
http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html
di akses tgl 24/11/2012 pukul 22.56
[2 Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press,
2011), hlm 243.
[5] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak
Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm. 244-245
[6] http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html di
akses tgl 21 februari 2013
[10] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak
Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm.252-253
[11]Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem
Manusia Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.30.
[13] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak
Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm. 257-258
[14]
http://sufiroad.blogspot.com/2010/08/tauhid-dan-marifatullah.html di
akses tgl 21 februari 2013
[15] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm.200.
[16] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak
Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm.
263-264
[17]
http://httpahmadbudiyonoblogspotcom.blogspot.com/2012/04/pengetian-dan-tahapan-maqamat-dan-ahwal.html
di akses tgl 24/11/2012 pukul 22.56
[18] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak
Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm.
266-267
[20] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak
Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm.
269-270
Posting Komentar