Sabtu, 25 November 2017

HUBUNGAN DAN FUNGSI HADITS RASULULLAH TERHADAP AL-QUR’AN


ABSTRAK

Ridho Revo Arranda, 11633040, Hubungan dan Fungsi Hadits Rasulullah terhadap Al Qur’an. Sebagai sumber hukum kedua yang telah disepakati oleh para Ulama, sesuatu keharusan dalam mentaati hadist baik perintah maupun larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabinya. Yang mana Al-Qur’an itu memiliki sastra bahasa yang tinggi yang memerlukan penjelasan langsung  dari seorang utusan Allah SWT yaitu Nabi Muhammad Saw yang mana penjelasannya disebut dengan hadis. Al-Qur’an yang memiliki beberapa kandungan ayat yang sulit, hadispun berperan dalam menjelaskan ayat tersebut yaitu sebagai penjelas untuk merincikan, membatasi dan mengkhususkan. Selain itu hadis juga menyebutkan kembali apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, guna untuk mempertegas, memperkokoh dan menguatkan apa yang ada pada Al-Qur’an. Sehingga hadis dan Al-Qur’an saling berterkaitan dan menjadi dua sumber hukum terbesar di Agama muslim.

Kata Kunci : Al-Qur’an, Hadis, Nabi, ayat

A.      PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya dengan cara mengutus para Rasul untuk menerima wahyu dan menyampaikan syari’at-Nya kepada seluruh manusia. Allah menugaskan para Rasul semata-mata karena anugrah-Nya, bukan atas permintaan, ambisi dan keinginan mereka. Begitu pula Allah telah menganugrahkan kepada para Rasul dengan keyakinan dan memuliakan mereka dengan tugas tabligh, maka sangat logis bahwa Allah memerintahkan iman kepada Rasul-rasul, dalam rangka sebagai syarat beriman kepada Allah.
Hanya beriman kepada Allah saja itu tidak cukup,  tetapi juga harus beriman kepada  segala sesuatu yang dibawa oleh para utusan Allah tersebut, menerima, tunduk serta patuh atas bimbingan dan petunjuk mereka. Dengan  adanya perintah iman kepada semua rasul maka kita wajib beriman kepada Nabi Muhammad saw, karena beliau termasuk kepada jejeran para rasul yang diberi risalah.
Menurut Husein Yusuf (1996:26)  mengatakan “Nabi Muhammad sebagai rasul merupakan persenofikasi yang utuh dari agama”. Karena itu kita wajib mengikuti jejaknya dan haram mengingkari sunnahnya. Sejalan dengan itu, ikrar keimanan seorang dianggap sah apabila keluar dari tarikan nafas yang sama dengan ikrar keimanan kepada Rasul-Nya.
Sumber-sumber di atas dapatlah dijadikan argumentasi untuk menetapkan kehujjahan Hadits sebagail dalil, karena Hadits merupakan rangkain kandungan Al-Qur’an yang menunjuk kepada keberadaan sunnah dalam sebagian ayat-ayatnya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam kedua setelah Al-quran. Hanya ada sekelompok kecil dari kalangan kaum muslimin yang menolak hadits sebagai sebagai salah satu sumber ajaran islam, dan itupun  disebabkan karena ketidakpahaman mereka terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu hadits. Kelompok penolak hadits ini sudah mendapat bantahan yang sangat serius dari Jalaluddin As-Suyuthi lewat karyanya yang berjudul Miftah al-Jannah fi al-Ihtijaj bi as-Sunnah.
Dari uraian diatas sudah jelas bahwa hadits sebagai sumber hukum Islam kedua harus diikuti, dijadikan rujukan, serta dijadikan pedoman. Ini berdasarkan perintah Allah SWT. dalam firmannya :
وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَٱحۡذَرُواْۚ فَإِن تَوَلَّيۡتُمۡ فَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا عَلَىٰ رَسُولِنَا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ
Artinya: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang (Q.S Al-Maidah:92)

Dari ayat-ayat tersebut kita sudah mengambil kesimpulan.Bahwa, perintah untuk menjadikan hadits sebagai sumber hukum adalah perintah langsung dari Allah, dan otomatis menentangnya berarti menentang Allah SWT.
Berbicara mengenai kehujjahan hadits tentu tidak akan lepas dari fungsi dan apa kaitan hadits terhadap Al-Quran. Abdul Halim Mahmud, mantan Syekh Al-Azhar, dalam bukunya yang berjudul As-Sunnah fi Makanatiha wa fi tarikhiha (dalam Quraish Shihab, 1996:55) menulis bahwa, “sunnah atau hadits mempuyai Fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara”. Dilihat dari pendapatnya jelas sekali bahwa hadits sebagai Pembina hukum syara, sebagaimana hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Quran, penguat, serta menetapkan hukum sendiri
Bila diperhatikan hadits-hadits yang dimuat dalam kitab-kitab hadits yang dibaca sekarang, timbul pertayaan, apakah semua hadits itu dapat dijadikan sember ajaran atau sumber hukum islam? Atau dengan kata lain, apakah semua hadis itu benar-benar hadis Nabi? bagaimana memahami hadis itu sebagai sumber ajaran. itulah salah satu yang akan dibahas dari Karya Tulis Ilmiah ini.
Mengenai hubungannya dengan Al-Qur’an, Rasulullah saw dalam beberapa hari atau pekan menjelang akhir hayatnya, Rosulullah saw sempat berwasiat kepada sahabatnya yaitu “aku tinggalkan untukmu dua hal. Kalian tdak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya: Kitab Allah(Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya”.(H.R. Malik). Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa eratnya pertalian Kitab Allah dan hadits Rasulnya.

B.       SEPUTAR MENGENAI HADIST DAN ALQURAN
1.      Pengertian Hadits
Abdul Majid Khon (2009:2) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis ialah “sumber berita yang datang dari Nabi saw dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun sikap persetujuan.
Dari pendapat itu maka kita dapat menyimpulkan bahwa hadits adalah berita tentang prilaku Nabi Muhammad saw (sabda, sikap, perbuatan, dan persetujuan ) didapatkan dari seorang sahabat atau lebih, yang kebetulan menyaksikan prilaku Rausulullah, yang kemudian berita itu disebar luaskan kepada sahabat-sahabat lain yang tidak kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan kejadian tersebut. Kemudian berita itu disampaikan kepada murid-muridnya yang biasa kita sebut dengan tabi’in (satu generasi dibawah sahabat yang tidak bertemu dengan Nabi Muhammad saw). Kemudian berita tersebut kemudian disampaikan lagi kepada murid-murid dari generasi selanjutnya yaitu tabi’ut tabi’in, dan seterusnya hingga sampai kepada pembukuan hadist seperti saat ini seperti Shahih Bukhori dan Shahih Muslim. Itulah yang dimaksud dengan hadits. Dari paparan diatas dapat memberikan kesimpulan, bahwa hadis mempunyai 3 komponen yaitu :
a.    Hadis perkataan yang disebut dengan hadis qawli, seperti perkataan Rasulullah saw yaitu “jika dua orang muslim bertemu dengan pedangnya, maka pembunuh dan yang terbunuh di dalam neraka”
b.    Hadis perbuatan, disebut hadis fi’li. Seperti Shalatnya beliau, haji, perang dan lain-lain.
c.    Hadis persetujuan, disebut hadis taqriri, suatu perkataan atau perbuatan yang disetujui oleh baginda Rosulullah saw. Contohnya ini seperti ketika beliau di sediakan oleh bibinya Ibnu Abbas sebuah tampan berisi minyak samin, mentega dan daging binatang dhabb. Beliau tidak mengambil  daging binatang dhabb. Seandainya haram ketika melihat beliau akan mengharamkannya.

2.      Sejarah Hadits
Pada masa nabi dan khalifah, hadits-hadits Nabi belum lagi dikodifikasikan (dibukukan) seperti sekarang ini hanya baru merupakan hafalan dari para sahabat, mereka belum menulis apa-apa dari Nabi selain dari Al-Quran, karena pada mulanya Nabi pernah melarang menuliskannya seperti sabda beliau :
Artinya : “Dari Sa’ad al Khudary, Nabi bersabda : janganlah kamu tuliskan apa yang dariku, dan siapa-siapa yang menuliskan darripadaku selain al-Qur’an hendaklah dihapusnya dan kabarkan sajalah olehmu apa-apa yang darinpadaku itu. Hal mana tidaklah menjadi suatu dosa, dan siapa yang melakukan kedustaan terhadapku dengan sengaja, hendaklah dia menempati tempatnya dari api Neraka” (HR. Muslim).

                Berikut ini sebab-sebab lain mengapa sebuah hadits tidak dibukukan, diantaranya adalah :
1)        Pada masa Nabi, kaum muslimin dapat bertanya langsung kepada Nabi, apa saja soal yang mereka alami baik urusan ibadat maupun lainya, pada masa sahabat mereka amalkan saja apa yang mereka ketahui atau apa yang mereka dengar dari sahabat lainya.
2)        Para sahabat dahulu khawatir, karena apabila hadits dituliskan, maka kemungkinan bisa terjadi campur-baur antara Al-Qur’an dan Hadits
3)        Pada masa Sahabat, kaum muslimin disibukkan dengan menghabiskan waktunya dalam urusan peperangan, yaitu untuk memadamkan api fitnah yang terjadi dan juga banyak nya kaum yang memberontak serta murtad, sehingga kaum muslimin  juga disubukkan  untuk mengamankan masalah tersebut, sehingga para sahabat kerkurangan waktu untuk membukukan hadits.
Islam berkembang dengan pesatnya sehingga satu bersatu terus bertambah negri-negri yang dibawah kekuasaan dan perlindungan kaum muslimin, seiring berkembangnya itu, Bid’ah dan khufarat mulai berkembang pula,sedangkan kaum muslimin mulai lengah dari syariat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, bahkan telah ada dan banyak sekali orang yang berani membikin hadits palsu.
Melihat hal yang demikian, pada masa khalifah umar bin Abdul Aziz ± tahun 99-101 H (717-720 M) ia memerintahkan kepada gubernurnya di madinah yaitu Abu Bakar bin Hazm dengan perintahnya “hendaklah tuan perhatikan sabda Nabi, dan hendaklah tuan bukukan , aku takut kalau hadits-hadits tersebut terhapus atau dilupakan orang”.
Pada tahun itulah baru dibukukan atau ditulis hadits-hadits Rosulullah saw, perintah ini tidak hanya semata-mata diperintahkan kepada gubernur Abu Bakar bin Hazm saja tapi juga kepada Gubernur di Hijaz, Kaufah dan lain-lain, setelah ini barulah muncul pengumpulan hadits dari imam-imam.

3.      Macam-macam Hadits
Adapun maca-maca menurut As Sayyid Muhammad Al Maliki Al Hasani (1995 : 43-93) diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Hadits Sahih
Hadits Sahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, dinukil oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya, dari seorang perawi yang sama sifatnya, tidak cacat, dan tidak tercela, serta memenuhi syarat-syarat seperti Ittishalus sanad, adil, dabit, tidak memiliki illat serta terlepas dari sifat-sifat syaz.
2)      Hadits Hasan
Hadits Hasan adalah hadits yang sanadnya bersambung dinukil oleh perawi yang adil, isinya tidak mengandung illat dan tidak syaz, tetapi hafalannya tidak sekuat perawi hadits sahih (tidak dabit).
3)      Hadits Dhaif
Hadits Dhaif adalah hadits-hadits yang tidak memenuhi kriteria penerimaan sebagai hujjah,atau tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih dan hasan, serta hokum hadits ini ditolak.
4)      Hadits marfu’
Hadits marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi Shlallahu’alaihi wa sallam, baik berupa ucapan atau perbuatan, aupun taqrirnya. Contoh : “Rosulullah telah bersabda begini…..”.
5)      Maqtu’
Hadits maqtu adalah hadits yang disandar kan ketabi’in dan generasi selanjutnya, baik ucapan ataupun perbuatan, apakah dari tabi’in yang terkemuka ataupun tidak terkemuka.
6)      Mauquf
Hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat, baik perbuatan maupun ucapan, sanadnya bersambung atau tidak. Contoh “berkata Ibnu Umar ….”
7)      Hadits musnad
Hadits musnad adalah hadits yang sanad para perawiya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam.
8)      Hadits Muttashil
Hadits muttashil adalah hadits yang bersambung mata rantai sanadnya, setiap perawi mendengar langsung dari generasi diatasnya sampai dengan sanad terakhir.
9)      Hadits Musalsal
Hadits musalsal adalah hadits yang mata rantai perawinya saling bersambung satu dengan lainya, memiliki satu sifat dalam periwayatan dan peng-isnad-annya.
10)  Hadits Gharib
Hadits Gharib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi dan perawi lain yang meriwayatkannya
11)  Hadits ‘Aziz
Hadits ‘aziz adalah hadits yang pada salah satu tingkatan mata rantai perawinya terdiri dari dua orang perawi
12)  Hadits Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, sekalipun hanya pada salah satu tingkatan mata rantai perawinya, sedangkan tingkatan ketiganya diriwayatkan oleh jamaah.
13)  Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir adalah hadits dari hasil tangkapan panca indra, yang diriwayatkan oleh banyak rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
14)  Hadits Munqathi’
Menurut Al Baiquni hadits munqati’ adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya.(Badruddin.Mutiara Pokok Ilmu Hadits:66)
15)  Hadits Mu’adhdhal
Hadits mu’adhdhal adalah hadits yang sanadnya gugur dua tingkat secara berurutan, seperti gugurnya seorang sahabat dan tabi’in, atau gugurnya dua sanad sebelumnya.
16)  Hadits Maudhu
Hadits maudhu adalah hadits yang dibuat oleh seorang pendusta dan mengatakan bahwa hadits ini adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam
17)  Hadits Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang sanad pertamanya digugurkan, satu tingkatan atau lebih, berurutan atau tidak, bahkan sampai sanad terakhir sekalipun.
18)  Hadits Mautruk
Hadist mautruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang telah disepakati kedhaifannya dikarenakan beberapa hal seperti berdusta

4.      Perbedaan Hadits dan Sunnah
Sebagian besar dari kita semua beranggapan dan berpandangan bahwa sunnah dan hadits merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga digunakan secara bergantian untuk menyebut segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. Akan tetapi, kalau ditinjau secara cermat dan mendalam dari beberapa literature menunjukkan bahwa keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Istilah hadits ini telah dikenal oleh masyarakat Arab sejak pada zaman jahiliah, yakni ketika mereka mengatakan kegiatan hari-hari mereka yang terkenal dengan sebutan ahadits (buah pembicaraan). Sedangkan secara bahasa kata hadits berasal dari huruf  ha, dal dan  sa  yang berarti adanya sesuatu setelah tidak adanya, atau jadid (yang baru) lawan dari qadim (yang lama). Selain itu, hadits juga berarti kabar (berita) atau kalam(pembicaraan) baik verbal maupun lewat tulisan. Sedang kan  sunnah secara bahasa berarti “jalan yang biasa ditempuh(tradisi)”
Perbedaan hadits dan sunnah ini terletak pada hukum syara atau bukan hukum syara. Ini didasarkan pada pendapat Ushuliyun (pakar ushul fiqih). Mereka membatasi pengertian sunnah  hanya padahal yang berkaitan dengan hukum. Yaitu “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan taqrir yang patut dijadikan dalil bagi hukum syara”. Sedangkan menurut pakar Fiqh, sunnah yang dimaksud adalah bukan wajib,bukan haram, bukan makruh, dan bukan pula mubah tetapi masuk kedalam hukum taklifi yang kelima.  Maka sunnah yang dimaksudnya adalah, “sesuatu yang lebih utama dikerjakan, sebab akan mendapat pahala apabila dikerjakan, tetapi tidak akan berdosa apabila tidak dilakukan”. Begitulah tanggapan dari pakar Fiqh dan Pakar Ushul Fiqh.
Selain pendapat-pendapat yang membedakan antara hadits dan sunnah, Ada juga yang mendefinisikan sunnah itu sama dengan hadits. yaitu sama-sama bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,sifat perangai, budipekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diangkat menjadi rasul ataupun sesudahnya. Hal tersebut merupakan pendapat dari para pakar hadits (muhaddisin).  Jadi kesimpulan dari berbagai literatur bahwa Hadits belum tentu Sunnah dan Sunnah sudah pasti hadits, karena tidak semua hadits itu dapat diterima sebagai dalil,dengan kata lain hadits bisa disamakan dengan sunnah apabila memenuhi dua syarat yaitu
a.         Sesuatu yang berakitan dengan hukum syara
b.        Merupakan hadits yang bisa dijadikan sebagai hujjah
5.      Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, melalui malaikat jibril dan disampaikan secara mutawtir, yang mana jika dibaca bernilai ibadah dan menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia.
Sedangkan definisi Al-Qur’an menurut M Ali Hasan (2000:69) mengatakan bahwa Al-Quran adalah firman Allah yang didektekan kepada Nabi SAW melalui satu saluran dengan otoritas yang mutlak, atau melalui utusan (Malaikat) yang berbicara melalui wahyu (inspirasi) dan merupakan dokumen serta petunjuk bagi manusia, dalam menjalani kehidupan agar senantiasa berada dalam kebahagiaan.

Disamping itu Al-Qur’an juga merupakan kitab suci yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan merupakan rahmat bagi manusia, yang mengatur segala aspek kehidupan, yang berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan alam, sebagaimana Firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 64 yang berbunyi :
وَمَآأَنزَلنَاعَلَيكَ الكِتَابَ أِلاَّلِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِى اخْتَلَفُواْفِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya :“Dan tidaklah kami turunkan kitab ini (Al-Qur’an) melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman” (An-Nahl:64)

Al-Qur’an menjelaskan cara-cara yang harus ditempuh manusia dalam hubungannya dengan Allah. Manusia dan alam untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan dalam hidupnya.
Kalau kita kaji lebih mendalam lagi maka untuk mencapat kemakmuran dan kebahagiaan manusia mau tak mau hanya berhubungan dengan Allah, manusia dan alam, Sebagai satu kesatuan yang padu. karena Al-Qur’an diturunkan untuk memperkenalkan Allah, manusia dan alam dengan sejelas-jelasnya.

C.      HADIST SEBAGAI PEDOMAN SETELAH AL-QURAN
Telah menjadi kesepakatan umat islam di dunia, bahwa hadist merupakan salah satu undang-undang yang wajib ditaati dan menduduki urutan kedua sumber hukum islam setelah Al-Qur’an, dikarenakan hadist adalah sesuatu yang dibawa oleh utusan Allah SWT yang terakhir didunia ini. Keharusan dalam  mentaati hadist baik perintah maupun larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an.
Rosulullah bersabda , “wahai kaumku, ambillah dariku (sunnnah Rasulullah), karena  sesungguhnya  demi Allah jika kamu mengabaikannya. Niscaya bernar-benar kamu akan tersesat”.
Berikut adalah dalil-dalil yang menjadi dasar bahwa Hadits adalah pedoman Setelah Alqur’an
1.      Dalil-dalil Al-Qur’an
Al-Qur’an telah mewajibkan kaum muslimin untuk menaati Rasulullah saw. Seperti ayat dibawah ini :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبۡطِلُوٓاْ أَعۡمَٰلَكُمۡ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kamu merusak amalanmu”(QS. Muhammad:33)

Hukum taat kepada Rasul sama dengan taat kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala hal ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah yaitu :
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا
Artinya : “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah” (Q.S.An-Nisa:80)

Bila kita mengikutinya (Rasul), maka hal itu petanda kita akan dicintai Allah dan mendapatkan pengampunan-Nya. Sebagaimana Firman Allah :
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
Artinya : “ Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha pengampun maha penyayang”(Q.S.Ali Imran:31)

Jadi jelas dalam  ayat-ayat tersebut, Allah telah memerintahkan untuk kita semua untuk taat kepada Rasul dan mengikuti segala sesuatau yang diperintahkan Rasulullah. Maka ketika kita mengikuti perintah yang ada didalam Al-Quran, maka secara otomatis juga kita harus taat kepada Rasul yaitu Haditsnya.
Dilihat dari wujud ajaran islam itu sendiri, Rasulullah merupakan tokoh sentral yang sangat dibutuhkan, bukan sekedar membawa risalah ilahiyah dan menyampaikan ajaran islam yang terkandung didalamnya saja, leebih dari itu, tetapi Rasulullah juga sebagi tokoh kepercayaan Allah SWT. Muardi Khatib (1996:96) mengatakan bahwa ”Rasulullah sangat dibutuhkan sebagai tokoh satu-satunya yang dipercaya oleh Allah untuk menjelaskan, merinci dan memberi contoh pelaksanaan ajaran tersebut”. Dan itulah tugas Rasul yang dibebankan Allah kepada beliau.
Karena itu semua, berdasarkan penelitian yang meyakinkan kebenarannya, Muhammad Adib Shaleh (1985:34) mengatakan bahwa “semua yang berasal atau bersumber dari Muhammad Rasulullah itu dianggap sebagai dalil syari’at dan sumber ajaran islam yang pokok dibawah wahyu (Al-Qur’an), baik dari segi tingkatannya maupun dari segi kedudukannya atau penggunaannya”. Dan itulah yang dinamakan Hadits.
Tanpa Rasulullah, dalam hal ini berarti tanpa hadits, ajaran islam tidak akan sampai kepada kita. Tanpa penjelasan dan rincian serta contoh pelaksanaannya yang beliau  berikan melalui hadits, ajaran islam itu tidak dapat diamalkan. Ini berarti bahwa semua yang benar-benar bersumber dari Rasulullah itu pasti dapat dianggap sebagai sumber ajaran islam yang wajib dipercayai.
Masalah yang ramai dibicarakan oleh para ulama sejak wafatnya Nabi ialah apakah hadits-hadits yang dibukukan sekarang hingga kita baca ini semuanya benar-benar berasal dari Rosulullah ataukah buatan dari orang-orang yang jail? Kecurigaan ini pada dasarnya sudah muncul sejak zaman Nabi masih hidup.
 Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib (dalam Muardi Khatib,1996:97) Bahwa yang membuat para sahabat besar seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab terlalu berhati-hati dalam menerima hadits yang disebutkan oleh para sahabat lain dengan memberikan ancaman hukuman bila yang mengatakan hadits itu tidak dapat mendatangkan saksi atau bukti bahwa itu memang hadits Nabi.

Pada zaman sahabat kecurigaan dapat dihilangkan, sekurang-kurangnya dengan mendatangkan saksi-saksi untuk membuktikan keshahihan suatu hadits. Sedangkan pada zaman sekarang kecurigaan sudah dapat dikurangi dengan ilmu-ilmu hadits seperti ilmu Riwayah dan Dirayah.
Mungkin timbul pertanyaan bagaimana membedakan antara Al-Qur’an dan hadits, sedangkan kedua-duanya sama-sama diucapkan Nabi kepada para Sahabat dan mungkin juga kedua-duanya sama-sama mereka tulis dan sama-sama mereka hafal? Yang jelas ketika mengucapkan ayat-yat Al-Qur’an dan menyampaikan kepada para sahabat, Nabi menjelaskan bahwa yang beliau ucapkan itu adalah ayat Al-Qur’an. Selanjutnya Nabi melarang menuliskan selain ayat Al-Qur’an itu. Meskipun tetap ada dari para sahabat yang diam-diam menuliskannya. Larangan menuliskan hadits tersebut bermaksud agar Hadis dan Al-Qur’an tidak akan bercampur aduk sehingga akan susah membedakannya.
Setelah kekuatiran percampuran Hadis dan Al-Qur’an hilang. Maka larangan dalam menulis hadis itu sudah tidak berlaku lagi. Sebagaimana perkataan Ismail Salim Abdul (dalam Muardi Khatib,1996:99) “karena yang dikuatirkan itu bercampur aduk, bila kekuatiran itu hilang, larangan itu tidak berlaku lagi”. Bahkan Nabi pernah meyuruh menuliskan seuatu hadits untuk sahabat tertentu, misalnya yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khudai, dia bertanya kepada Rasul : “Waahai Rasulullah, kami mendengar banyak hal dari engkau, apakah kami boleh menuliskannya? “Nabi menjawab: “Tulislah, tidak apa-apa”. Maksud dari hadis tersebut bahwa Nabi telah membolehkan Sahabat itu menuliskan Hadis. Tentu saja sahabat yang bertanya itu sudah memahami perbedaan antara Hadis dan Al-Qur’an, sehingga Nabi tidak hawatir lagi tentang percampuran Hadis dan Al-Qur’an.
Secara keseluruhan (globalnya), hadis itu wajib diyakini secara qath’iy sebagai sumber ajaran Islam kedua sesudah Al-Qur’an. Keyakinan itu berdasarkan kenyataan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu yang berisi ajaran Islam dari Allah melalui malaikat jibril. Beliau menyampaikan kepada Umat melalui Sahabat, sekaligus berlia merinci dan member contoh pelaksanaannya. Rincian, penjelasan dan contoh pelaksanaan itu adalah hadis.
Dalam Al-Qur’an terdapat pokok-pokok yang bersifat umum bagi hukum-hukum syari’at, tanpa pemaparan rincian keseluruhanya, kecuali yang sejalan dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu, yang tidak pernah berubah oleh bergulirnya waktu dan tidak berkembang lantaran keragaman manusia dilingkungan dan tradisi masing-masing.
Sejalan dengan hal diatas Sohari Sahrani (2002:37) mengatakan bahwa “hadits sejalan dengan Al-Qur’an, menjelaskan mubah, merinci pada ayat-ayat yang menjual, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, serta menguraikan hukum-hukum dan tujuannya”. Dari pendapat tersebut selain, disamping membawa hukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya. Disinilah al-hadis  menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran islam yang kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) sesuai dengan firman Allah (Q.S. An-Nahl : 44) :
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya :  Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan ( An-Nahl:44)

Ringkasnya, tak dapat diragukan lagi, bahwa Al-Hadits adalah sumber yang kedua bagi hukum-hukum Islam. Dialah sumber yang paling banyak cabangnya dan paling lengkap undang-undangnya.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka ketika kita mencari segala sesuatu dalam Al-Qur’an haruslah melalui hadits. Karena itu semua merupakan perintah Allah secara langsung melalui firman-firmannya.
Sebagaimana perkataan  Al-Imam Ahmad (dalam Muhammad Haasbi, 2001:154). Mencari hukum dalam Al-Qur’an, haruslah melalui hadits. Mencari agama demikian pula. Jalan yang telah dibentang untuk menjalani fiqih Islam dan syari’atnya, ialah (Al-Hadits/As-Sunnah). Mereka yang mencukupi dengan Al-Qur’an saja, tidak memerlukan pertolongan Al-Hadits dalam memahami ayat, dalam mengetahui syari’atnya, sesatlah perjalanannya dan tidak akan sampai kepada tujuan yang dikehendaki.

Begitupula kata Asy Syathiby (dalam Muhammad Haasbi, 2001:155), Tiadalah seyogianya dalam seyoogianya dalam urusan istinbath, kita mencukupi dengan Al-Qur’an saja, dengan tidak memperhatikan syarahnya dan penjelasannya. Sebabnya, ialah karena Al-Qur’an itu kully. Di dalamnya banyak soal-soal kully(umum), seperti keadaan shalat, zakat, haji dan puasa dan yang sepertinya. Mengingat ini, perlu kita perhatikan  syarah-syarahnya. Bila tidak kita proleh penjelasan dari As-Sunnah sendiri kita perhatikan pula penjelasan salaf. Lantaran para salaf lebih mengetahui maksud-maksud Ayat, dari pada orang-orang lain. Dan jika tiada kita proleh penjelasan-penjelasan Salaf, barulah kita hanya berpegang kepada kekuatan bahasa

D.      HADITS SEBAGAI PENJELAS AL-QUR’AN ( BAYAN TAFSIR )
Al-Qur’an adalah sumber ajaran yang pokok, begitupula Al-Hadist yang merupakan sumber ajaran yang kedua setelah Al-Qur’an. Seorang muslim sejati tidak akan bisa menggunakan AL-Quran saja sebagai petunjuknya, tetapi dia juga harus percaya dan mempelajari hadist yang merupakan sumber ajaran, informasi, kabar, dan penjelas, itu semua karena Al-Quran yang mempunyai bahasa sastra yang sangat tinggi beserta kalimat-kalimat yang masih umum.
Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dan penerapannya sebagai petunjuk dan kaidah hidup manusia
Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah, telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan Al-Qur’an itu. Bahkan dalam surat-surat Al-Qur’an seperti An-Nisa’ ayat 80 dan lain-lain, merupakan fasilitas legal dari Allah SWT atas kewajiban umat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukakan oleh beliau. Allah berfirman :
بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ
 Artinya : “(Mereka kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan Az-Zikr ( Al-Qur’an ) kepadamu,agar engkau  menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan” (Q.S. An-Nahl:44 )

مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا
Artinya :     “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”(Q.S An-Nisa’:80)

Dari ayat tersebut kita bisa memahami bahwa Allah telah mengutus Nabi-nabi-Nya serta diantara Nabi tersebut ada yang hanya membawa keterangan dan ada juga membawa kitab Allah SWT. Selain hanya membawa kitab Allah tersebut, khususnya Nabi Muhammad saw juga menjelaskan wahyu yang diterimanya itu. Segala apa yang bersumber dari Nabi merupakan hadits maka apa yang dijelaskan Nabi mengenai Al-Qur’an itulah yang disebut dengan Bayan At-Tafsir atau ( Penjelas )
Menurut ulama Ahl Ar-Ra’yi  (dalam Badri Khaeruman, 2010:49) yang dimaksud dengan Bayan Tafsir  yaitu “menerangkan hal-hal yang tidak mudah diketahui pengertiannya, yaitu yang mujmal”. Jadi yang dimaksud dengan  bayan at-Tafsir  ialah penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan peruncian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat  mujmal, mutlak, dan ‘am, maka Fungsi hadis dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran  terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan Taqyid pada ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap-ayat-ayat yang masih umum.
Sejalan dengan pendapat diatas, M. Ali Hasan (2000:189) mengatakan Bayan Tafsir “ sebagai penafsir atau perinci hal-hal yang disebut secara mujmal didalam Al-Qur’an, tafsiran, taqyid dan takhish yang datang dari as-Sunnah adalah untuk member penjelasan kepada makna yang dimaksud ayat-ayat yang ada dalam Al-Qur’an”

Mengenai pendapat Imam Malik (dalam Teungku Muhammad, 2009:138), dia mengatakan bahwa “Bayan Tafsir juga disebut dengan Bayan at-Taudhih”, yakni seperti hadits-hadits yang menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan yang dimaksud oleh ayat. Seperti ayat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ

Artinya: “Dan segala mereka yang mengumpulkan emas dan perak dan tidak mereka membelanjakan pada jalan Allah, maka gembirakanlah mereka dengan azab yang amat pedih.”(QS.At-Taubah:34)

Ketika ayat ini diturunkan, para sahabat merasa sangat berat melaksanakannya. Mereka bertanya kepada Nabi  Muhammad saw, Maka beliau menjawab,”Allah tidak memfardhukan zakat, melainkan supaya harta-hartamu menjadi baik sesudah kamu zakati.” Mendengar itu Umar mengucapkan takbir.
Menurut Syuhudi Ismail (1985:56) beliau mengatakan bahwa    “Hadits sebagai Bayan Tafsir, yakni sebagai penjelasan/penerang terhadap ayat-ayat yang mujmal(global) dan musytarak (dubious, yaitu : lafads yang mengandung beberapa makna”. Contoh pada surat Al-Baqarah : 228
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
Artinya : “Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri(menunggu) tiga kali quru…(Q.S. Al-Baqarah : 228)

Kemudian dijelaskan oleh hadits sebagai berikut :
“Thalaq budak itu dua kali, dan iddahnya dua kali haid” (Riwayat Abu Daud, Tarmidzi, Ibnu Majah, dari Aisyah)

Kata-kata quru  dalam ayat tersebut dapat berarti haid dan dapat berarti suci. Dengan hadits tersebut , titik berat iddahnya itu dilihat dari segi haidnya dan bukan dari segi sucinya
Selain pendapat diatas Mudasir (2008:80) juga mengatakan bahwa apa yang dimaksud dari Hadits sebagai penjelas yaitu memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan Taqyid (persyarataan)terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutla, dan memberikan taksis(penentuan khusus) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum.

Dari penjelasan itu bisa kita ambil contoh bahwa ayat yang dimaksud itu seperti ayat tentang memerintahkan kita untuk mengerjakan  puasa, zakat, jual beli dan sebagainya. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang masalah tersebut masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakannya, sebab-sebabnya, syarat-syaratnya, ataupun halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah saw melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

أَتَى بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ مَنْ مِفْصَلِ اْلكَفِّ
Artinya :   Rasulullah saw didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan

Hadits ini menjelas kan Al-Qur’an pada surat Al-Maidah ayat 38 yaitu
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا مِّنَ ٱللَّهِۗ
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan  keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan siksaan dari Allah…” (Q.S Al-Maidah:38)

Pada ayat tersebut Allah SWT telah memberikan hukum kepada seseorang yang mencuri. Namun dalam ayat itu hanya menyebutkan untuk memotong tangan. Kita semua tidak tahu dari mana kita harus memotong tangan itu. Sedangkan hadits Nabi saw telah memberikan penjelasan dengan mencontohkan langsung bahwa memotong tangan tersebut dari daerah pergelangan tangan.
Begitupula pendapat Agus Solahudin & Agus Suyadi (2008:79) mereka mengatakan bahwa maksud dari hadis sebagai penjelas yaitu “menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, danmusytarak.” Maksud dari pendapat itu mengatakan bahwa hadis dalam hal ini adalah memberikan peincian, dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal,  dan memberikan batasan kepada ayat-ayat yang masih mutlak, serta memberikan pengkhususan ayat-ayat yang masih luas maknanya. Contoh lainnya, Allah SWT memerintahkan kepada umat muslim untuk berzakat maka hadis menerangkan secara detail. Salah satunya Nabi saw bersabda :
هَاتُوْرُبْعَ عَشْرِأَمْوَالِكُمْ
Artinya: “Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu”

Dari berbagai definisi dan contoh diatas kita, kita dapat menemukan kesimpulan bahwa Hadis sebagai penjelas Al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
1.         Bayan at-Tafshil

Pendapat Sayid Muhammad (1995:18) mengatakan “hadits sebagai tafsir, salah satu fungsinya sebagai bayan Tafshil yaitu 

penjelas ayat mujmal(umum)”, Seperti hadis-hadis yang menerangkan tentang ibadah dan hukum-hukumya, tata caranya, waktu-waktunya, serta bilangan-bilangan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an”.
Sedangkan Wajidi Sayadi (2013:61) juga mengatakan bahwa Bayan Tafhsil adalah “hadis yang berfungsi menjelaskan ayat Al-Qur’an yang bersifat mujmal (global) secara rinci”. Contoh dari Tafshil seperti hadis yang menjelaskan cara kita melakukan shalat, puasa, aturan zkat dan sebagainya
2.         Bayan Taqyid
Bayan Taqyid berarti sebagai membatasi ayat Al-Qur’an. Ayat yang dimaksud untuk dibatasi oleh hadis yaitu adalah ayat yang mutlaq. Sebagaimana pendapat Sohari Sahrani (2010:40) dia mengatakan bahwa “Bayan Taqyid artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu”. Dari pendapat tersebut kita dapat mengetahui bahwa mentaqyid mempunya situasi dan kondisi tertentu. Tidak semua ayat Al-Qur’an dapat dibatasi. Contoh seperti Sabda Rasulullah sawyang artinya :
Telah dihalalkan bagi kami dua (macam) dan dua (macam) darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa” (H.R.Ibnu Majah).
Hadis diata mentaqyid ayat Al-Qur’an yaitu surat Al-Maidah:3
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِ
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.(Q.S. Al-Maidah : 3)

3.         Bayan Takhshis
Bayan Takhshis yaitu menjelaskan tentang kekhususan suatu ayat yang umum. Sohari Sahrani (2010: 41) menyatakan “kata Takhshis atau khas ialah kata yang menunjukkan arti khusus tertentu dan tunggal”. Beliau juga mengatakan bahwa ayat yang di takhshis adalah ayat yang ‘am. Maksud dari ayat ‘am yaitu ayat yang kandungannya menunjukkan atau mempunyai makna yang sangat bannyak, sehingga memerlukan penjelasan yang lebih dalam. Sebagai contoh, seperti surat Al-An’am ayat 82 :

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يَلۡبِسُوٓاْ إِيمَٰنَهُم بِظُلۡمٍ 
Artinya : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman..(Q.S. Al-An’am : 82 )

Pada ayat diatas kita titik beratkn kepada kata بِظُلۡمٍ yang artinya “Kzaliman” yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Syirik. Pada mulanya, sebagian sahabat memahami kata tersebut sebagai kata umum, kemudian salah satu dari sahabat bertanya,”siapa diantara kita yang melakukan perbuatan zalim?” kemudian diikuti oleh Rasulullah sawbeliau bersabda, “bukan itu yang dimaksud,tetapi zalim disini adalah syirik.”.
Pada pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa hadis sebagai penjelas itu disebut dengan Bayan Tafsir yang pengertiannya adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam menjelaskan Al-Qur’an terbagi dengan beberapa klasifikasi diantaranya yaitu menerangkan (Bayan Tafshil), membatasi (Bayan Takyid), dan mengkhususkan ayat Al-Qur’an ( Bayan Takhshis ).

E.       HADITS SEBAGAI PENGUAT AL-QUR’AN
Hadits selain sebagai penjelas, hadits juga merupakan penguat bagi Al-Qur’an. Sebagaimana pendapat ulama Ahl ar-Ra’yi, mengatakan bahwa salah satu fungsi hadits yaitu Bayan Taqrir, “yakni keterangan yang diberikan oleh As-Sunnah untuk menammbah kekokohan apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an. (Teungku Muhammad, 2009:135). Contoh pada sabda     Nabi saw dalam hal puasa Ramadhan dengan melihat bulan, sabdanya :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْا يَتِهِ
Artinya: “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya

Hadits ini menguatkan firman-firman tuhan :
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
Artinya :“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).”(Q.S. Al-Baqarah:185

Diatas memperlihatkan bahwa apa yang telah disebutkan hadits juga telah disebutkan oleh Al-Qur’an. Yang mana hadits disini berarti mempertegas apa yang telah ada pada Al-Qur’an.
Menurut Agus Suyadi & M.Agus Solahudin (2008:82) mengatakan bahwa “Bayan Taqris juga sering disebut dengan Bayan Ta’kid dan Bayan Itsbat” yakni hadis yang berfungsi untuk memperkokoh isi dari kandungan ayat Al-Qur’an. Contoh lainya  seperti berikut ini :
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٖ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَۗ
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi.” ( Q.S Al-Ahzab : 40)

Ayat ini menegaskan bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Pengertian ini diperkuat dan dipertegas oleh hadis yang bersumber dari Tsauban, Nabi sawbersabda :
وَاِنَّهُسَيَكُنُ فِي أُمَّتي ثَلَاثُونَ كذَّبُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدي
Artinya : “Sesungguhnya akan ada nanti dikalangan umatku 30-an orang pendusta semuanya mengaku sebagai nabi, padahal aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku.” ( HR.Tirmidzi )

Hadis dan ayat tersebut sama-sama menjelaskan tentang Nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir, tidak ada lagi sesudahnya. Keberadaan hadis tersebut mempertegas apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Kalau sudah ada penegasan dalam Hadis Nabi Muhammad sawseperti ini, maka kalimat  خَاتَمَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ (penutup para nabi) dalam ayat tersebut tidak perlu lagi ditafsir dengan analisis kebahasaan dan segala macam pendapat. Apalagi kalau hal ini sudah menjadi kesepakatan Ulama. Itulah sebabnya.
Pendapat karya Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman ( dalam Wajidi Sayadi, 2013:71) mereka menyebutkan penguat Al-Qur’an selain disebut Bayan Taqrir, namun juga disebut dengan bayan Ta’Kid yang mana pengertiannya adalah “hadis yang berfungsi sebagai penjelas yang bersifat menguatkan, menekankan, atau mempertegas apa yang terdapat dalam Al-Qur’an”.
Dari berbagai pendapat diatas kita semua dapat mengambil kesimpulan bahwa Al-Hadis itu berfungsi sebagai penguat yang disebut dengan Bayan Taqrir maupun  Bayan Ta’kid, yakni menekankan dan memperkokoh dari beberapa ayat Al-Qur’an.

F.       PENUTUP
Berita tentang prilaku Nabi Muhammad saw (sabda, sikap, perbuatan, dan persetujuan) didapatkan dari seorang sahabat atau lebih, yang kebetulan menyaksikan prilaku Rousulullah, yang kemudian berita itu disebar luaskan kepada sahabat-sahabat lain yang tidak kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan kejadian tersebut, yang berfungsi untuk “menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan” (Q.s. An-Nahl:44).
Kita selaku umat muslim juga pasti mengetahui bahwa Al-Qur’an yang merupakan kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad saw melalui tiga cara yaitu dibalik tabir, ilham, serta malaikat Jibril, yang mana jiga dibaca maka akan mendapatkan berkah dan rahmatil’alamin. Berdasarkan pengertian tersebut Al-Qur’an tidak bisa dipahami dengan sendirinya oleh setiap mahluk hidup. Hal tersebut dikarenakan Al-Quran yang mempunyai bahasa sastra yang sangat tinggi beserta kalimat-kalimat yang masih umum yang juga memerlukan penjelasan dari seseorang yang menerima wahyu tersebut sendiri.
Allah SWT berfirman“ Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha pengampun maha penyayang”(Q.S.Ali Imran:31). Dari ayat tersebut Allah SWT sendiri yang telah berkata bahwa kalau benar kita cinta Allah SWT maka ikutilah Rasulnya. Dan perkataan Allah itu sekaligus menjadikan bahwa apa yang diterangkan Rasulullah yaitu hadis merupakan sumber kedua setelah firman-Nya.
Hadis Rasulullah sawmenerangkan Al-Qur’an dengan beberapa cara atau fungsi. Yang mana hadis nya sebagai penjelas Al-Qur’an atau disebut dengan Bayan Tafsir. dalam penjelasan ini mencakup tiga cara yaitu menjelaskan dengan merincikan (Tafshil), membatasi (Taqyid), dan mengkhususkan (Takhshis).
Selain sebagai penjelas hadis juga sebagai penguat, memperkokoh ayat yang ada pada Al-Qur’an guna untuk mempertegas apa yang telah Allah SWT sebutkan dalam Al-Qur’an. Kemujmalan dan keluasan makna Al-Qur’an, sehingga kita memerlukan penjelasan dari Rasulullah sebagai pembawa wahyu itu sendiri.
Rasulullah saw sebagai utusan Allah SWT berhak mendapatkan hak ketaatan kita untuknya. Selain itu, demi  untuk memahami kandungan Al-Qur’an dengan benar, kita harus memerlukan perkataan, penjelasan, dan ajaran beliau. Dan perlu diingat, bahwa Hadis bukanlah pelengkap dari Al-Qur’an, Al-Qur’an tanpa hadis itu sudah lengkap. Namun Al-Qur’an tanpa pemahaman yang sesuai dengan hadis maka itu akan dapat tersesat.
DAFTAR PUSTAKA
Suyanto. 2014. Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media
Nazar Bakry. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wajidi Sayadi.2013. Ilmu Hadits.Solo: Zadahaniva
Khaeruman Badri.2014. Ulum Al-Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Philips, dkk, 2005.Asal-usul dan Perkembangan Fiqh.Bandung: Nusamedia & Nuansa
Saidus Syahar. 1996. Asas-Asas Hukum Islam. Bandung: Penerbit Alumni
Muhammad Adib Shaleh. 1985. Lamhat fi Ushul al-Hadits. Kairo: Maktab al-Islamiy
M.Ali Hasan. 2000. Studi Islam Al-Qur’an & As Sunnah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
As Sayyid Muhammad Al Maliki Al Hasani. 1995.  Mutiara Pokok Ilmu Hadits. Bandung: TRIGENDA KARYA
Daniel Juned. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: ERLANGGA
Sohari Sahrani. 2010.Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia
Teungku  Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 2009. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PUSTAKA RIZKI PUTRA
Syuhudi Ismail. 1985. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: ANGKASA
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 2001. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: PUSTAKA RIZKI PUTRA

Mudasir. 2008. Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia
M.Agus Solahudin & Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Abdul Majid Khon. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara


Posting Komentar


Credits